Kalau kita hubungkan dengan konteks Ramadhan, maka bagaimana kita akhirnya supaya terus bersemangat mengisi Ramadhan th.1430 H ini sampai selesai selama sebulan penuh, bukan hanya semangat di awalnya saja. Padahal hari-hari terakhir Ramadhan menjadi penentu kesuksesan kita dalam bulan ini.
Rasulullah saw adalah menjadi bukti konkrit untuk kita teladani. Adalah beliau dalam hidupnya tidak pernah meninggalkan i’tikaf di masjid. Selama delapan atau sembilan kali beliau terus melaksanakan i’tikaf tersebut. Rasulullah saw adalah seorang Nabi, kepala negara, suami, ayah yang otomatis tanggung jawab beliau sangat besar mengurus ummatnya, namun beliau tidak pernah meninggalkan ibadah ini, dengan alasan apapun termasuk pulang kampung. Ya, Rasulullah saw tidak pernah pulang kampung di hari-hari nan mahal di mata Allah swt ini.
Rasulullah saw menyibukkan diri dengan taqarrub ilallah, munajat, tilawah Al Qur’an, do’a, istighfar, muhasabah dan lainnya. Gambaran menghidupkan malam-malam itu beliau istilahkan sendiri dengan ungkapan
”Syaddul mi’zar. Mengencangkan ikat pinggang”.
Beliau juga membangunkan keluarganya untuk begadang di malam-malam akhir Ramadhan. Rahasianya adalah untuk meraih lailatul qadar. Sunnah ini dilanjutkan oleh para istri-istri Rasulullah saw dan para sahabatnya radliyallahu ajma’in. Rasulullah saw, istri-istrinya dan para sahabat radliyallahu ajma’in mengajarkan kepada kita untuk pandai mengambil prioritas amal, mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus di akhirkan.
Lanjutan ayat ini menekankan kembali untuk bisa mengambil prioritas amal itu, ”Dan bumi Allah itu luas . Para ahli tafsir sepakat yang dimaksud ayat ini adalah perintah untuk berhijrah dan berjihad. Salah satu bentuk hijrah dan jihad dalam konteks kita, yang tidak ada peperangan adalah meningkatkan ketaatan dan mujahadah dalam kebaikan. Memburu lailatul qadar adalah bagian dari hijrah dan jihad ini, sebagaimana dicontohkan para salafus shaleh.
Dunia tidak secekak daun kelor, ternyata peribahasa ini dinukil dari firman Allah swt ini. Di manapun kita menginjakkan kaki, di tempat kelahiran atau di rantau, adalah sama saja di mata Allah swt. Artinya adalah jangan sampai kita melewatkan hari-hari dan malam-malan mahal itu dengan alasan pulang kampung, antri panjang di loket, macet di jalan dan seterusnya, hanya karena mengejar”, saya harus kumpul keluarga di hari raya”. Bukan itu yang dicontohkan nabi saw. Beliau orang yang tidak pernah memutus hubungan tali silaturahim, dengan siapa pun apalagi dengan keluarga dan kerabat. Namun beliau sangat tahu persis bahwa malam lailatul qadar itu harus di raih dengan cara mengoptimalkan sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Untuk melaksanakan i’tikaf di masjid memang membutuhkan perjuangan yang besar, membutuhkan keseriusan yang tinggi dan kesungguhan dalam melaksanakannya. Banyak godaan dan tantangn untuk melakukan i’tikaf ini.
Saudaraku; Apakah karena alasan persiapan lebaran, atau bahkan rasa dan persepsi masyarakat yang tidak benar, bahwa ”lebaran harus kumpul dengan keluarga”.
Saudaraku, permasalahannya adalah karena kita belum mempersiapkan ibadah ini jauh-jauh hari sebelumnya, serta belum memahamkan anggota keluarga kita bahwa ibadah sepuluh hari terkahir ini meskipun hukumnya sunnah muakkadah, namun tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Kalau toh pulang kampung bisa setelah shalat idul fitri. Sehingga kedua hasanah atau keutamaan bisa diraih sekaligus. Hasanah lailatul qadar dan hasanah silaturahim lebaran